Sabtu, 27 November 2010

Diam menunggu

DIAM MENUNGGU

Diam menunggu keniscahyaan,
Rona mukaku kian memerah, biru, menghitam. Menahan riak amarah yang selama ini membisu. Mengepal tanganku hingga entah apa jadinya
Aku telah bosan menunggu
Jenuh aku dengan sekarang
Diam menunggu aku tidak sanggup
Tak ada waktu berkeluh,
Melenyapkan semua simfoni burukku, menggugurkan harapan-harapan kosong, membiaskan hari-hari kelabu. Sayangnya, semua itu hanya ilusi. Aku tidak mapu berpikir, tak mampu beraksi. Otakku diracuni rasa kecewa hingga darahku berwarna merana. Bukan lagi namanya berkeluh kesah, hampir tak ada harapan. Sisanya hanya menampar diri, mencaci kehormatan, dan menangisi kepergianku sendiri.
Kelak diakhir diamku, beribu aksara akan terkumpul menjadi susunan cerita tentang kediamanku. Sampai waktu menyaksikan sendiri keniscahyaanku, yang berbaring lelap menikmati kesenjaan, membungkam seluruh suara. Anganku menghampiri kehidupan laluku. Merangkai kenangan-kenangan silam. Tak mengerti dan tak peduli akan menuju yang mana abadi. Yang penting, hidupku adalah menunggu ketiadaanku. Kebahagiaanku adalah akhir diam dan menunggu.
Aksara-aksaraku ini akan memimpin prasasti sejarah lalu. Bagai kitab suci yang agung adalah bukti keberadaanku atas semesta.  Jangan kasihani aku,   aku hanya menanti . . . .ku
[nia5_01_112010]