Selasa, 15 Maret 2011

lingkungan

Sungai Ciliwung Tahun 2026

Apabila botol-botol berisi sampel air Sungai Ciliwung yang diambil dari hulu hingga hilir dijajarkan di atas meja, akan terlihat makin ke hilir makin keruh.

Itu baru secara kasat mata. Hasil uji laboratorium mempertegas bahwa air Sungai Ciliwung, dari hulunya di Kabupaten Bogor sampai hilirnya di Jakarta Utara, telah tercemar berat.

Pemantauan sejumlah sungai di Indonesia pada tahun 2004 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa kualitas air sungai sangat dipengaruhi oleh limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limbah peternakan. Dari seluruh sungai yang dipantau, Sungai Ciliwung adalah yang terparah pencemarannya. Hilir yang tercemar berat hanya ditemukan di Sungai Ciliwung.

Bahkan, sejak di hulu sudah tercemari fecal coli dan total coliform yang sangat jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan. Bakteri tersebut berpengaruh sangat besar terhadap status mutu air sungai. Bila parameter itu dapat dikendalikan, status mutu air sungai dapat meningkat menjadi lebih baik.

Berdasar parameter biologi (fecal coli dan total coliform), DO (dissolfed oxygen), BOD (biochemical oxygen demand), dan COD (chemical oxygen demand), tidak ada segmen Sungai Ciliwung yang mutu airnya memenuhi kriteria kelas I, yang layak digunakan sebagai air baku untuk air minum.
Sungai Ciliwung dibagi dalam lima segmen menurut wilayah administratif yang dilintasi, yakni segmen 1 (Kabupaten Bogor), segmen 2 (Kota Bogor), segmen 3 (Kabupaten Bogor), segmen 4 (Kota Depok), dan segmen 5 (DKI Jakarta).
Pada segmen 1 pada titik pemantauan Cisarua (Kabupaten Bogor), air Sungai Ciliwung masuk kriteria kelas II. Artinya, kualitas airnya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, perikanan, peternakan, dan pertamanan. Segmen 2 dan 4, Ciawi (Kota Bogor) dan Cimanggis (Kota Depok), kondisi kualitas airnya kelas IV, hanya layak untuk mengairi pertamanan. Segmen 3 di Cibinong (Kabupaten Bogor) berkualitas kelas III, bisa untuk perikanan, peternakan, dan pertamanan.
Sedangkan segmen 5 di wilayah DKI Jakarta, tidak termasuk dalam kelas mana pun. Artinya, tidak layak dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun. Tentu saja bisa menggunakan teknologi tertentu untuk meningkatkan kualitas air sungai tersebut, akan tetapi membutuhkan biaya yang sangat besar.
Persoalan umum yang dihadapi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung adalah pencemaran limbah domestik, limbah industri, limbah peternakan, erosi, dan kurangnya resapan air.
Kondisi Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain di Jakarta menjadi cerminan betapa rendahnya kepedulian dan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang limbah ke sungai. Tanpa kesadaran akan pentingnya sungai bagi kehidupan, bisa dibayangkan berapa banyak sampah yang akan terbuang ke sungai-sungai di Jakarta, yang penduduknya menghasilkan 25.000 meter kubik sampah setiap hari. Tanpa upaya pengendalian, jumlah itu diperkirakan menjadi dua kali lipat pada tahun 2010.
Sebagian dari sampah yang dibuang ke sungai berupa plastik, yang akhirnya mengalir sampai ke laut dan merusak ekosistem laut. Berat jenis plastik yang ringan membuatnya mengapung dan mudah terbawa gelombang dan semakin jauh ke dalam ekosistem laut. Ketika akhirnya tenggelam, sampah plastik menutupi terumbu karang, menghalangi sinar matahari, sehingga mematikan terumbu karang yang menjadi habitat bagi satwa laut. Plastik yang dibuang ke sungai akan meninggalkan zat beracun di dalam air dan meresap ke dalam air tanah. Pencemaran racun dari plastik dan bahan kimia lainnya, terutama dari limbah industri dan pertanian, sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Restorasi ekologis
Kualitas air sungai-sungai di Jakarta yang sangat buruk, bertambah parah akibat rusaknya biofisik lahan di bantaran sungai. Makin ke hilir makin buruk akibat kejadian alam dan campur tangan manusia. Menurut ahli lingkungan Dr Tarsoen Waryono, dibutuhkan restorasi ekologis untuk memulihkan kondisi lingkungan bantaran sungai-sungai tersebut.
Sebanyak 13 aliran sungai yang melintas di wilayah Jakarta, 10 di antaranya bermuara di Teluk Jakarta. Alur-alur sungai tersebut panjangnya 461 kilometer dengan luas bantaran 1.985,65 hektar. Sesempit apa pun bantaran sungai, kata Tarsoen, perannya sangat penting dalam siklus hidup berbagai jenis kehidupan air, dan secara ekologis menjadi penyeimbang laju pertumbuhan wilayah. Karena itulah, lahan bantaran sungai perlu dikonservasi sebagai sempadan sungai untuk memulihkan komunitas bantaran secara alami, melalui rehabilitasi habitat, pengayaan jenis, serta sosialisasi untuk menumbuhkan kearifan masyarakat sekitarnya.
Sampai saat ini peran daerah bantaran sungai sebagai koridor hijau yang menyediakan jasa bio-eko-hidrologis belum banyak diperhitungkan. Secara tidak terkendali bantaran sungai pun beralih fungsi menjadi lahan permukiman. Bahkan, situ yang seharusnya menjadi daerah resapan disulap menjadi kompleks perumahan. Jumlah pemukim pada alur-alur bantaran sungai di Jakarta diperkirakan lebih dari 71.000 jiwa, yang menempati lebih dari 14.000 unit bangunan.
Perubahan fisik bantaran sungai di daerah perkotaan mengakibatkan penurunan fungsi jasa hidrologis vegetasi bantaran sungai. Padahal bantaran sungai atau riparian berfungsi sebagai penyaring materi tanah dan air, penahan kecepatan angin, penyerap polutan, dan pengendali iklim mikro.
Penelitian yang dilakukan Tarsoen menunjukkan, tiga bentuk struktur morfologi sungai di Jakarta, yaitu degradasi (20,3%) berbentuk huruf V akibat perilaku aliran yang kuat, agradasi (45,17%) berbentuk huruf U akibat sedimentasi endapan lumpur dan longsoran badan sungai, dan pasang surut (34,63%) berbentuk huruf U landai akibat pendangkalan. Makin ke hilir makin dangkal.
Tingkat keberhasilan pengelolaan kawasan sempadan sungai, terutama di wilayah yang padat permukiman, menurut Tarsoen, sangat ditentukan oleh kemampuan pendekatan terhadap masyarakat. Upaya pemulihannya membutuhkan dua tahapan. Pertama, sosialisasi pentingnya perlindungan kawasan sempadan sungai, dengan lebih menekankan pada pemahaman makna konservasi sempadan, peranan fungsi jasa vegetasi khas bantaran, dan arti pentingnya keikutsertaan masyarakat sebagai mitra dalam pemulihan lahan bantaran. Kedua, memacu ketulusan para pemukim agar secara arif akan sadar untuk meninggalkan kawasan sempadan sungai.
Upaya terpadu
Saat ini sedang dibahas upaya peningkatan kualitas sungai di Indonesia yang kondisinya kritis. Proyek percontohan untuk sekitar 19 sungai kritis itu dilakukan pada Sungai Ciliwung, dan sebanyak 12 institusi terkait telah menyepakati sebuah program terpadu peningkatan kualitas air Sungai Ciliwung. Fokus utamanya adalah mengatasi beban pencemaran serta memulihkan dan meluaskan daerah konservasi.
Dalam jangka panjang, menurut rencana induk (master plan) yang disepakati, seluruh segmen Sungai Ciliwung akan menjadi kelas I, yang artinya dapat digunakan sebagai air baku air minum. Namun, dalam 15 tahun ke depan diperkirakan kualitas air kelas I hanya bisa tercapai sampai pada segmen 4 (Kota Depok), dan pada saat itu segmen 5 (DKI Jakarta) baru sampai pada kelas II, baru layak digunakan untuk sarana rekreasi air dan perikanan.
Perlu tambahan sedikitnya lima tahun lagi untuk meningkatkan kualitas air Sungai Ciliwung di Jakarta) menjadi kelas I. Itu pun bila pemerintah daerah berhasil membenahi tata ruang, membebaskan bantaran sungai dari permukiman, dan yang lebih penting kesadaran warganya untuk tidak membuang sampah ke sungai.
Masih harus menunggu sampai tahun 2026, untuk melihat botol-botol sampel air Sungai Ciliwung yang dijajarkan di atas meja tadi seluruhnya terisi air jernih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar